Rabu, 27 Maret 2019

Analisa Proximity Vektor Studi Kasus Gunung Raung


Hola hola... ketemu lagi... kali ini yang akan dibahas adalah tentang Analisa Proximity Vektor dengan Studi Kasus Gunung Raung. Kira-kira seperti apa? simak semua penjelasannya dibawah. ↓↓↓

Latar Belakang
Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki jumlah gunung berapi aktif yang sangat banyak berjajar mulai dari Sumatra hingga Papua yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Pada kawasan di gunung api memiliki kawasan pertanian yang subur, berpenduduk padat dan memiliki panaroma keindahan, karena memiliki gunung berapi yang sangat banyak maka bencana akibat letusan gunung berapi adalah salah satu bencana yang tidak jarang melanda wilayah-wilayah di indonesia. Ini tentunya menjadi ancaman tersendiri yang patut diwaspadai karena gunung-gunung ini bisa kapan saja bergejolak dan mengeluarkan material panasnya.

Potensi bencana gunungapi di Pulau Jawa memang lebih besar dibandingkan dengan di Pulau lainnya di Indonesia. Dari jumlah 129 gunung api di Indonesia, 35 gunungapi diantaranya berada di Pulau Jawa, dengan klasifikasi 21 gunungapi termasuk ke dalam tipe A, 9 gunungapi termasuk tipe B dan 5 gunungapi termasuk tipe C. Jumlah gunungapi tersebut tersebar di empat provinsi dari enam provinsi di Pulau Jawa, diantaranya,yaitu : Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Hanya dua provinsi yang tidak memiliki gunungapi, Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta. Potensi bencana yang dimiliki gunungapi terbagi menjadi dua jenis, yaitu : potensi bahaya utama yang berpengaruh secara langsung (primer) dan potensi bahaya ikutan yang tidak berpengaruh secara langsung (sekunder). Potensi bahaya utama yang berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia, antara lain : awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, leleran lava, gas vulkanik beracun (CO, CO2,HCN, H2S, SO2 dll). Potensi bahaya ikutan yang tidak berpengaruh secara langsung, antara lain : lahar hujan, banjir bandang, dan longsoran vulkanik.

Gunung Raung merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terletak di Provinsi Jawa Timur, yang secara administratif terletak pada tiga kebupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Pada erupsi tahun 2015 lalu, abu vulkanik yang dihasilkan hingga mencapai Pulau Bali, hal ini mengakibatkan beberapa bandara di sekitar Gunung Raung ditutup. Dengan statusnya yang masih aktif ini, tempat ini tetap menjadi tempat wisata bagi para pendaki untuk menikmati keindahan alam dari ketinggian tertentu. Bagi kalangan pendaki, Gunung Raung tentu sudah amat familiar dengan medan pendakian yang tergolong sulit dan ekstrem. Selain itu disekitar kawasan Gunung Raung ini juga terdapat pemukiman penduduk yang pasti pada saat gunung ini mengalami erupsi maka akan langsung dirasakan oleh penduduk sekitar.


Dengan adanya hal tersebut, maka perlu adanya suatu acuan dalam proses mitigasi bencana apabila Gunung Raung mengalami erupsi kembali. Sehingga pada praktikum ini, akan dibuat suatu informasi geospasial yang meliputi jalur evakuasi, daerah maupun zona aman serta lokasi pengungsian pada saat terjadinya erupsi di Gunung Raung dengan studi kasus di Kabupaten Bondowoso.

Gunung Api Raung

Gunung Raung terletak pada koordinat 8°07′30″LS 114°02′30″BT dengan tinggi 3344 mdpl merupakan salah satu gunung api berbentuk kerucut yang terletak di ujung timur Pulau Jawa yang secara administratif, Gunung Raung ini terletak pada tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Sedangkan secara geografis, gunung ini menjadi puncak tertinggi dari Pegunungan Ijen dan menjadi gunung tertinggi ketiga di Jawa Timur setelah Gunung Semeru dan Gunung Arjuno. Kaldera Gunung Raung juga menjadi kaldera kering terbesar di Pulau Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Gunung Tambora.

Tipe letusan Gunung Raung adalah letusan Strombolian yaknik letusan kecil tetapi terus menerus mengeluarkan pijar. Selain itu, karena memiliki sistem kawah terbuka menyebabkan lava pijar Gunung Raung yang dihasilkan pada saat erupsi akan kembali ke dalam kawah dan kecil kemungkinan meluber keluar kaldera. Letusan tipe Strombolin ini cenderung berupa lava yang cair tipis, material padat, serta gas dengan tekanan sedang. Begitupun pada letusan tahun 2015 silam, karena lubang magma terletak pada kawah yang dalam menyebabkan semburan material pijar tidak keluar dari kawah. Namun daerah sekitar Gunung Raung terjadi hujan abu serta merasakan gempa tremor.

Untuk memantau aktivitas Gunung Raung dilakukan pemantauan seismik oleh PVMBG, Badan Geologi. Sebelum tahun 2011, pemantauan dilakukan dengan menggunakan hanya satu stasiun seismik (RAUN/ MLLR) yang berlokasi di Daerah Melalu, di tenggara Gunung Raung yang berjarak ± 7.5 km dari kawah. Dengan menggunakan seismometer L-4C, data gempa direkam dan ditelemetrikan ke Pos PGA Raung dan Pos PGA Ijen. Pada Mei 2011, PVMBG bekerja sama dengan pihak USGS melakukan penambahan stasiun seismik tiga komponen (broadband) yang lokasinya berdekatan dengan stasiun RAUN. Pada tahun berikutnya kembali dilakukan penambahan 2 stasiun seismik di Kali Baru (Stasiun KBUR) dan di Pos PGA Raung (POSR). Bersamaan dengan meningkatnya energi tremor di awal November 2014 terlihat beberapa kali cahaya atau sinar api dan letusan abu dari arah kaldera Raung. Misalnya, kejadian pada 27 Desember 2014. Cahaya api kaldera Gunung Raung bila dilihat dari bibir kaldera berasal dari letusan tipe strombolian.

Aktivitas Raung yang telah berstatus Waspada, sejak 13 November 2014 ditandai oleh tremor yang berlanjut sampai 29 November 2014 dan berubah menjadi Tremor vulkanik menerus. Peningkatan aktivitas ini merupakan perulangan kejadian yang sama sekitar 2 tahun yang lalu, walaupun sesekali terjadi lonjakan energi tremor diantara selang waktu tersebut. Kenaikan RSAM terjadi pada periode November 2012 – Februari 2013 dan November – April 2015 serta periode Juni-Agustus 2015 menunjukkan setidaknya terjadi tiga kali terjadi krisis tremor. Pada awal Februari 2015, masyarakat melaporkan telah terjadi abu tipis di Paltuding perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso) atau arah timur Raung, serta terdengarnya suara gemuruh hingga sejauh kurang lebih 20 km. Selain aktivitas kegempaan yang meningkat pada periode krisis di atas, aktivitas pergerakan magma dimanifestasikan juga oleh komponen radial data tiltmeter.

Setelah Februari 2015 aktivitas vulkanik Gunung Raung cenderung menurun dan secara visual tidak teramati aktivitas dari kaldera. Berdasarkan citra satelit Himawari, aktivitas vulkanik di kaldera mulai muncul lagi pada Mei-Juli 2015 dengan kecenderungan meningkat. Pada 25 Juni dan 11 Juli nampak terjadi aliran lava dan letusan abu di dalam kaldera, sedangkan pada 27 Juli aktivitas vulkanik di kaldera didominasi oleh letusan abu. Kenampakan erupsi Raung bila dilihat dari sisi lain (darat) pada 10 Juli menunjukkan kejadian letusan letusan tipe strombolian dan aliran lava.

Tremor tahun 2014-2015 secara umum memiliki frekuensi dominan lebih kecil. Contoh tremor tanggal 20 Februari 2015, pukul. 06.12 WIB, agak sedikit lebih kecil. Hasil pengamatan gunung saat terjadi tremor tersebut tampak asap kecokelatan keluar dari Gunung Raung dengan tinggi asap kurang dari 100 m dari puncak, dan beberapa detik sebelumnya terdengar suara gemuruh lemah. Tremor vulkanik Raung, pada masa krisis November 2014 – Maret 2015, memiliki karakteristik bentuk tremor quasi-harmonik dan frekuensi dominan sekitar 1,9 Hz. Dibandingkan dengan tremor vulkanik beberapa tahun sebelumnya, frekuensi dominan tremor ini cenderung lebih kecil. Hasil analisis bentuk tremor pada 25 Februari 2015, selama lk 6 jam, terekam rentetan kejadian tremor jenis tremor kuasi harmonik. Setelah dibandingkan dengan hasil pengamatan secara visual, hasil rekaman rangkaian tremor ini mencerminkan proses letusan tipe strombolian. Hasil identifikasi tremor seperti di atas pernah dilaporkan juga dalam penelitian Benoit dkk (1997) di Gunung Arenal. Pada satu urutan tremor, selalu terdiri dari 2 envelope berbentuk layang-layang atau mirip cerutu pendek yang diikuti cerutu panjang yang berurutan. Hasil identifikasi tremor kuasi harmonik seperti ini menggambarkan suatu letusan abu dengan tinggi beberapa ratus meter.

Mitigasi Bencana Gunung Raung

Kegiatan vulkanik G. Raung dipantau dari Pos PGA yang terletak di bagian tenggara G. Raung, yaitu di Dusun Mangaran, Desa Sraji, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, pada ketinggian ± 650m dpl. Pemantauan yang dilakukan berupa pengamatan visual dan kegempaan. 
  • Visual
    Dalam keadaan normal teramati hembusan asap kawah berwarna putih tipis setinggi ± 50-100 m di atas puncak dengan tekanan lemah (Mei 1995). Kegiatan lain yang diamati berupa solfatara dan fumarola yang terletak pada bukit dan bibir kawah sinder cone bagian barat dan di dasar kawah bagian barat.
  • Seismik
    Pengamatan kegempaan menggunakan 1 set seismograf dengan sistem pancar (RTS) model MEQ-800. Stasiun Seismik berada pada koordinat 7°59'34,20" LS dan 113°18'39,80" BT, pada ketinggian ± 483 m. Pemantauan aktifitas kegempaan dengan menggunakan seismograf MEQ-800 dilakukan sejak tahun 1995 hingga pertengahan 1996, sedangkan pemakaian seismograf jenis Kinemetrics PS-2 satu komponen menggantikan seismograf MEQ-800 sejak pertengahan 1996 hingga sekarang.
Zonasi Pada Erupsi Gunung Berapi Raung

Untuk menghadapi bahaya letusan G. Raung seperti yang pernah terjadi di waktu sejarah, maka disusunlah Peta Kawasan Rawan Bencana G. Raung yang ada sekarang ini terdiri dari tiga kawasan, yaitu Kawasan Rawan Bencana I, Kawasan Rawan Bencana II dan Kawasan Rawan Bencana III.
  1. Kawasan Rawan Bencana III (KRB III)
    Untuk kasus G. Raung, KRB-III adalah merupakan kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lava dan bahan lontaran batu (pijar). Dalam kondisi meletus Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III) G. Raung berlaku sebagaimana di gunungapi lain meskipun gunungapi tersebut tidak sering meletus dimana ada sektor yang sering terlanda oleh aliran massa maupun material lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat. Kawasan ini memiliki luasan dengan radius 3 km. Kawasan Rawan Bencana III (KRB-III) G. Raung terdiri atas dua bagian, yaitu kawasan yang akan selalu terlanda oleh:
    -Aliran massa (awan panas dan aliran lava).
    -Material lontaran batu (pijar) seperti bom gunungapi, dan jatuhan piroklastik (hujan abu lebat).
  2. Kawasan Rawan Bencana III(KRB II)
    Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II), adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat berjenis ash dry and wet fall. Perluasan awan panas kemungkinan dapat terjadi apabila letusan di masa mendatang lebih besar dari letusan masa silam atauterjadi percampuran (magma mixing), sehingga terjadi letusan hebat yang banyak merubah keadaan morfologi G. Raung secara drastis. Kawasan ini memiliki luasan dengan radius 8 km.
  3. Kawasan Rawan Bencana I (KRB I)
    Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/banjir dan kemungkinan dapat terkena perluasan aliran piroklastik (awan panas). Apabila letusannya membesar, maka kawasan ini sangat berpotensi tertimpa bahan jatuhan piroklasik berupa lontaran batu (pijar) dan hujan abu berjenis ash dry fall. Kawasan ini memiliki luasan dengan radius 10 km. Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) ini dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
    -Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa lahar/banjir, dan kemungkinan perluasan awan panas, terletak di sepanjang daerah aliran sungai/di dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak.
    -Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan piroklastik berupa hujan abu berjenis ash dry fall tanpa memperhatikan arah tiupan angin (saat terjadi letusan), dan kemungkinan dapat terkena lontaran batu (pijar).
Jalur Evakuasi Pada Saat Erupsi Gunung Berapi

Penentuan jalur evakuasi dibuat berdasarkan analisis risiko bencana gunung api, mulai dari aspek kerentanan, aspek kapasitas, hingga aspek ancaman bencana gunung api. Menggunakan data administrasi yang bersumber dari BIG (Badan Informasi Geografis). Selain menggunakan analisis dari aspek penyusun analisis risiko bencana, jalur evakuasi juga disusun menggunakan metode Network analysis berdasarkan :
  • Jarak dan waktu tempuh lokasi
  • Topografi jalan
  • Ketersediaan sarana transportasi evakuasi
  • Fasilitas di sektor pengungsian
Bencana gunung api yang memungkinkan berisiko ke segala arah dengan pusatnya gunung api, maka penentuan jalur evakuasi akan di bagi persektor, yaitu ; sektor utara, sektor selatan, sektor barat, dan sektor timur.

Informasi Geospasial

Posisi Indonesia tersebut membuatnya menjadi rawan bencana alam, mulai dari kekeringan, banjir, gempa, erupsi gunung berapi, hingga tsunami. Bahkan, bisa dibilang hampir seluruh wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas bencana. Tidak heran, jika ada yang menyebut Indonesia adalah supermarket bencana. Bencana yang sebagian besar tidak bisa diprediksi tak dapat ditolak. Mau tidak mau, masyarakat Indonesia harus berdamai dengan bencana. Satu-satunya cara meminimalisir dampak bencana adalah dengan mengedukasi masyarakat. Edukasi yang harusnya didapat masyarakat meliputi disaster life management cycle atau siklus manajemen penanggulangan bencana. Siklus ini pada dasarnya berupaya menghindarkan masyarakat dari bencana, baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Siklus manajemen penanggulangan bencana meliputi disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana), disaster mitigation (mengurangi dampak bencana), disaster response (tanggap bencana), serta disaster recovery (pemulihan pascabencana).

Dengan adanya hal tersebut maka diperlukan Informasi Geospasial (IG) pada seluruh rangkaian siklus manajemen penanggulangan bencana. IG dapat dimanfaatkan pada tahap pra, saat terjadi, maupun pascabencana. Informasi geospasial merupakan informasi yang menyangkut lokasi dan keberadaan suatu objek pada permukaan bumi. Saat ini informasi geospasial mengarah pada pembuatan peta skala besar seperti skala 1:50.000 yang sebagian besar digunakan dalam perancangan tata ruang kota dan desa. Selain itu informasi geospasial diperlukan untuk implementasi kebijakan pembangunan secara efektif dan juga efisien yang berdasarkan UU No.4 Tahun 2011 menjelaskan menganai informasi geospasial. BIG memiliki tugas pokok dan fungsi yang lebih luas, tidak sekedar mengkoordinasikan dan melaksanakan kegiatan survei pemetaan untuk menghasilkan peta namun juga membangun informasi geospasial yang dapat dipertanggungjawabkan dan mudah diakses.

Buffer
Buffer digunakan untuk membuat data fitur baru dengan batas-batas fitur pada jarak tertentu dari fitur input. Fitur penting dari alat Buffer adalah parameter Metode yang menentukan bagaimana buffer dibangun.

Point Distance
Tools ini digunakan untuk membuat tabel dengan jarak antara dua set titik. Jika radius pencarian default digunakan, jarak dari semua titik input ke semua titik dekat dihitung. Tabel output bisa sangat besar

Create Thiessen Polygon
Tools ini digunakan untuk membagi area yang dicakup oleh fitur titik input ke dalam zona Thiessen atau proksimal. Zona-zona ini mewakili area penuh di mana setiap lokasi dalam zona lebih dekat ke titik input terkait daripada ke titik input lainnya

Network Dataset
Network Dataset sangat cocok untuk memodelkan jaringan transportasi dibuat dari fitur sumber, yang dapat mencakup fitur sederhana dan mengandung konektivitas dari data. Dataset jaringan memodelkan jaringan jalan yang ditunjukkan pada grafik di bawah ini. Grafik menyoroti bahwa jalan satu arah, batasan belokan, dan jembatan layang / terowongan dapat dimodelkan. Analisis yang dilakukan pada jaringan, seperti rute dari halte 1 ke halte 2, menghargai ini dan properti dataset jaringan lainnya.

Metode

Berikut adalah diagram alir metode yang digunakan

Hasil

Kawasan Rawan Bencana

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan pada peta administrasi Kabupaten Bondowoso terkait Kawasan Rawan Bencana didapatkan hasil sebagai berikut.
Kawasan Rawan Bencana (KRB) dibagi menjadi 3 bagian, KRB 1 dengan radiun 10 km dari pusat letusan, KRB 2 dengan radius 8 km dari pusat letusan, dan KRB 3 dengan radius 3 km dari pusat letusan. Dari hasil buffer didapatkan hasil mengenai desa-desa yang berada pada setiap KRB. Pada KRB 3 yang termasuk zona bahaya terdapat 12 desa, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, dan Sumbergading. Sedangkan untuk desa yang berada pada KRB 2 terdapat 13 desa,, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, Sumbergading, dan Tegaljati. Sedangkan untuk desa yang berada pada KRB 1 terdapat 14 desa, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Bayu, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, Sumbergading, dan Tegaljati.

Rute Evakuasi Menuju Fasilitas Terdekat

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan pada peta Rupa Bumi Indonesia Kabupaten Bondowoso terkait rute evakuasi menuju fasilitas terdekat didapatkan 3 hasil, yaitu: Jumlah fasilitas yang berada pada radius 20 km dari sumber letusan, jarak dari sumber letusan ke fasilitas terdekat, dan jarak/rute dari beberapa fasilitas ke bangunan terdekat.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa, terdapat 24 fasilitas yang berada di sekitar radius 20 km dari sumber letusan sehingga bisa digunakan masyarakat setempat untuk mengungsi (assembly point). 24 fasilitas ini meliputi fasilitas pendidikan dan pemerintahan. Selain itu didapatkan hasil juga didapatkan jarak dari sumber letusan ke fasilitas terdekat adalah 10,144 km dan jarak dari sumber letusan ke fasilitas terjauh adalah 19,844 km. Dapat dilihat pula hasil dari network analysis menunjukkan rute dari beberapa bangunan ke fasilitas yang terdekat yang ditunjukkan oleh garis warna orange.

Jangkauan Fasilitas Umum

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan pada peta Rupa Bumi Indonesia Kabupaten Bondowoso terkait luas jangkauan fasilitas di sekitar sumber letusan didapatkan hasil sebbagai berikut.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa setiap fasilitas yang ditunjukkan oleh titik berwarna hijau memiliki area terdekat yang ditunjukkan oleh batas garis berwarna hitam di area yang berwarna ungu.

Kesimpulan

Dari hasil di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Pada analisis Kawasan Rawan Bencana didapatkan hasil bahwa KRB 3 yang termasuk zona bahaya terdapat 12 desa, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, dan Sumbergading. Sedangkan untuk desa yang berada pada KRB 2 yang termasuk zona rawan terdapat 13 desa,, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, Sumbergading, dan Tegaljati. Sedangkan untuk desa yang berada pada KRB 1 yang termasuk zona aman terdapat 14 desa, yaitu: Desa Sempol, Bumiharjo, Sumberarum, Bayu, Gunosari, Sumbersalak, Gunungmalang, Jambearum, Rowosari, Pakisan, Gunosari, Kembang, Sumbergading, dan Tegaljati.
  2. Terdapat 24 fasilitas yang berada di sekitar radius 20 km dari sumber letusan sehingga bisa digunakan masyarakat setempat untuk mengungsi (assembly point). 24 fasilitas ini meliputi fasilitas pendidikan dan pemerintahan. Selain itu didapatkan hasil juga didapatkan jarak dari sumber letusan ke fasilitas terdekat adalah 10,144 km dan jarak dari sumber letusan ke fasilitas terjauh adalah 19,844 km.
  3. Setiap fasilitas ditunjukkan oleh titik berwarna hijau di peta memiliki area terdekat yang ditunjukkan oleh batas garis berwarna hitam di area yang berwarna ungu.
  4. Tools pada ArcGIS yang digunakan adalah: buffer, clip, intersect, network analysis(route), point distance, dan create thiessen polygons.

Sekian dulu tentang bahasan Analisa Proximity Vektor semoga dapat dipahami dan bermanfaat.
Salam CMIIW (Correct Me If I'm Wrong).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar